Era modern ditandai dengan berbagai macam perubahan dalam masyarakat. Perubahan ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi (iptek), mental manusia, teknik dan penggunaannya dalam masyarakat, komunikasi dan transportasi, urbanisasi, perubahan-perubahan pertambahan harapan dan tuntutan manusia. Semuanya ini mempunyai pengaruh bersama dan mempunyai akibat bersama dalam masyarakat, dan inilah yang kemudian menimbulkan perubahan masyarakat.
Perubahan ini sampai mengarah kepada perubahan mentalitas (moral). Khususnya, di kalangan generasi muda (dalam hal ini mahasiswa) telah terlihat adanya pergeseran nilai dan kecendrungan-kecendrungan pada aspek tertentu. Sangat disayangkan, era modern hanya ditandai dengan gaya hidup yang serba hedonistis (keduniawian) dan budaya glamour (Just for having fun). Perilaku moral generasi muda telah melampaui batas-batas norma. Potret buram generasi muda hari ini: mabuk-mabukkan, berlagak preman (premanisme), penganut seks bebas (free sex), tawuran antar pelajar, terlibat narkoba, dan lain sebagainya. Kondisi inilah yang disebut demoralisasi, yaitu proses kehancuran moral generasi muda.
Akhir-akhir ini permasalahan seks bebas di kalangan mahasiswa semakin memprihatinkan, terutama yang kurang baik tarap penanaman keimanan dan ketakwaannya. Beberapa kasus video porno pasangan mahasiswa yang merebak di internet membuktikan bahwa moral adalah sebuah hal yang tidak cukup penting untuk dipahami dan dilaksanakan oleh sebagian mahasiswa.
Kemudian kasus pencurian telepon genggam oleh mahasiswa yang ketika ditanya, ia mengaku butuh uang untuk membeli narkoba. Kemudian kasus lainnya beberapa mahasiswa di salah satu universitas negeri di Semarang tertangkap basah sedang mesum di lingkungan kampus. Dan banyak contoh kasus lain perilaku amoral mahasiswa yang kerap terjadi di Indonesia ini.
Sebuah kasus yang menunjukan begitu rentannya pelajar dan mahasiswa mengalami kerusakan moral adalah di Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa sekitar 80% mahasiswi di sana telah kehilangan keperawanan. Dari hal ini, kita mengetahui bahwa hampir tidak dapat dipisahkan antara kaum muda intelek dengan pergaulan bebas.
Kondisi ini juga berimbas terhadap down-nya mental generasi muda. Gejalanya bisa dilihat dari pesimisme generasi muda baik dalam mengeluarkan ide atau gagasan ataupun dalam menyikapi perkembangan. Tidak jarang ditemukan mahasiswa yang minder sendiri karena ketidakmampuannya mengoperasikan teknologi informasi, seperti: komputer ataupun internet atau juga mahasiswa yang terganggu mentalitas kejiwaannya karena tidak sanggup berhadapan dengan kompleksitas persoalan hidup.
Telah terjadi pergeseran nilai hidup dari sebagian mahasiswa dari menuntut ilmu dan berkarya ke menikmati hidup dan menikmati karya. Dengan kata lain kurangnya internalisasi Tri Dharma Perguruan Tinggi di kalangan mahasiswa. Imbasnya, mahasiswa lebih suka berdemo menuntut pemerintah membatalkan kebijakan yang dianggap merugikan masyarakat daripada berkarya untuk mengatasi tantangan yang dapat berguna bagi rakyat. Seharusnya mahasiswa yang kreatif dan bermoral tinggi memiliki kepekaan yang lebih berupa tindakan nyata dan langsung sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat.
Demonstrasi yang akhir-akhir ini kerap terjadi hampir selalu berakhir dengan bentrokan. Bentrokan juga merupakan suatu bentuk dari tindakan amoral karena bertujuan untuk menyakiti musuhnya. Di lain waktu juga terlihat amoralitas mahasiswa dimana mahasiswa tidak memiliki rasa hormat terhadap orang lain ketika membakar foto Presiden.
Ini adalah potret buram betapa negeri ini masih perlu untuk belajar berdemokrasi dengan bijak. Tidak semata-mata atas nama hak asasi manusia setiap orang boleh melakukan apa saja yang ia ingin ia lakukan. Nilai-nilai Pancasila yang luhur merupakan ajaran moral yang mendasar dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi pada kenyataannya saat ini Pancasila justru banyak dipertanyakan relevansinya dalam era moderenitas-globalisasi.
Pada hakikatnya ajaran moral Pancasila meliputi segala bidang, dari agama, sosial-budaya, politik, hankam, pendidikan serta ekonomi. Namun, jauhnya relasi antara warga dengan Pancasila ini telah menimbulkan masalah moral yang juga begitu kompleks di segala bidang.
Terjadinya tawuran dikampus-kampus selama ini dapat dijadikan sebagai bukti bahwa masih kurangnya kesadaran moral mahasiswa tersebut. Bahkan dengan ikut tawuran tanpa disadarinya mereka telah melupakan statusnya sebagai seorang calon intelektual bangsa. Karena moralnya rendah makanya mudah terpancing untuk buat onar. Miris rasanya, ketika para pemegang masa depan hanya menjebak paradigma berpikirnya pada ruang sempit.
Mahasiswa kini kehilangan identitas diri karena tidak mampu mengedepankan intelektualitas dalam problem solving. Sebagai insan akademis, mahasiswa yang terlibat tawuran sebaiknya introspeksi diri apakah dengan perilaku yang mengedepankan kekerasan layak untuk disebut mahasiswa.
Mahasiswa yang dalam tataran sosial kemasyarakatan dianggap sebagai figur intelektualis bangsa, di mana akan selalu mengedepankan unsur dialogis dan rasioanalis dalam setiap pemecahan masalah, ternyata tidak mempunyai cukup kemampuan untuk menopang kemerosotan moral bangsa secara keseluruhan.
Fakta empiris tentang realitas tawuran antar mahasiswa, baik dalam lingkup satu kampus maupun dengan kampus lain, telah cukup memberikan bukti ironis atas kebobrokan moralitas dari sebuah komunitas yang menamakan dirinya sebagai intelektualis ini.
Ditengah keterpurukan bangsa dengan berbagai masalah yang silih berganti, mahasiswa dituntut untuk memberikan sumbangsih positif. Pemecahan masalah yang arif mampu menjadi hadiah dalam menghadapi situasi sulit bangsa ini. Ide-ide yang kreatif nan kritis menjadi senjata yang ampuh dalam menentukan nasib bangsa ini.
Melihat fenomena tersebut yang melanda para mahasiswa Islam, maka pentingnya suatu lembaga untuk membina serta memberikan apresiasi lebih kepada mereka dalam meningkatkan wawasan keislamannya demi terwujudnya karakter dan prilaku yang islami yang lahir dari sebuah lembaga tersebut.
Masjid Al-Muhtadin Universitas Tanjungpura adalah sebuah lembaga yang mempunyai peran dan potensi yang besar untuk melahirkan mahasiswa yang tangguh, cerdas, santun, dan lemah lembut kepada siapapun. Prasyarat untuk mewujudkan hal itu tentunya harus ditunjang dengan sikap yang mampu mengakomodir semua kepentingan mahasiswa muslim Universitas Tanjungpura. Kita merasakan bahwa perananan masjid kampus yang seharusnya menjadi benteng pembentukan moralitas belumlah optimal.
Post a Comment